H. Ahdiat Gazali Rahman
Pemerhati Sosial Politik dan Hukum Tinggal di Amuntai
Semua Insan Pendidikan sudah kenal betul dengan Istilah BOS, dan setiap saat suatu yang sangat dinanti kapan dan kapan..berapa dan bagaimana agar BOS bisa cepat cair, berapa jumlah yang diterima, BOS adalah singkatan dari Dana Operasional Sekolah, suatu istilah yang sangat pololer, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga sekolah lanjutan atas SMA dan SMK, dana tersebut sungguh sangat menunjuang proses pendidikan bagi sekolah, apalagi Ketika pemerintah sudah tak membolehkan lagi pungutan lewat Komite, maka BOS adalah salah satu yang paling diharapkan, memang jumlah yang diterima sekolah sangat bervariasi tergantung jumlah siswa, BOS adalah salah gambaran kepedulian negara pemerintah Pusat pada Pendidikan, sekolah merasa sangat terbantu dengan adanya BOS.
Namun kini bagi sekolah kecil tertantu Dana Bos hanya jadi Idaman, angan yang mungkin tak tersempaikan setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Permendikbud No 06 Tahun 2021 tentang “Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Regional”walaupun beberapa organisasi yang banyak mengelola Pendidikan seperti NU dan Muhammadiyah sangat keberatan namun belum ada keputusan Menteri untuk mengubahnya atau merefesi sehingga semua sekolah tetap mendapatkan dana BOS, seperti dulu,kita juga tak tak meraba apa yang menjadi pertimbangan beliau sehingga dimusin Covid 19 yang semua merasa kurang beruntung, banyaknya usaha pailit, perushaan tutup, orang tua menjadi pengangguran, rutinitas mencari nafkah terganggu, yang berdampak pada menurunya pangsilan orang.
Sejarah BOS Regeonal.
Pada tahun 2001, Ketika terbit UU Otonomi Daerah, dilaksanakan desentralisasi yang di antara wujudnya adalah penyerahan urusan pendidikan (sekolah) kepada pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah pusat hanya mengurusi SNPK (standar, norma, prosedur, kebijakan). Urusan 3M (man, money, material) sumber daya manusia, anggaran, dan aset diserahkan kepada pemerintah daerah. Peran provinsi terkait hal ini, yaitu bertindak sebagai koordinator. Selama empat tahun pelaksanaan otonomi, banyak sekolah di hampir seluruh tanah air tidak terurus dengan baik, proses belajar mengajar (PBM) berjalan seadanya, serta fasilitas sekolah banyak yang rusak. Hal ini terjadi di antaranya karena sekolah kekurangan biaya operasional karena pemerintah daerah tidak memberikan anggaran yang cukup, bahkan ada beberapa pemerintah daerah yang tidak memberi anggaran sama sekali. Padahal, apapun kondisinya, proses belajar mengajar harus tetap berjalan. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di sekolah? Akhirnya, orang tua dan masyarakat yang menjadi sasaran. Sekolah menarik dana dari masyarakat sehingga mereka terbebani. Hal yang lebih memprihatinkan adalah sekolah-sekolah yang berada di lingkungan masyarakat kurang mampu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Proses belajar mengajar berjalan apa adanya. Implikasinya, kualitas pendidikan pun menurun. Karena banyaknya keluhan, baik dari sekolah maupun masyarakat, bahkan dari dinas pendidikan sendiri, DPR dan pemerintah sepakat menganggarkan bantuan operasional sekolah dengan tujuan agar Standar.
Pada awal Juli 2005, BOS mulai diluncurkan. Awalnya, dana BOS dianggarkan di pusat dan dikelola oleh pusat. Proses belajar-mengajar pun sudah bisa berjalan normaPelayanan Minimal (SPM) dapat dijalankan oleh sekolah tanpa membebani masyarakat.
Pada tahun 2011 dengan pertimbangan untuk menyeimbangkan postur anggaran sesuai asas desentralisasi money follow function. Dana BOS pun dimasukkan dalam pengelolaan daerah, sehingga anggaran BOS masuk sebagai pengeluaran daerah. Aturan baru ini memang agak rumit, prosedurnya lebih panjang karena birokrasinya jadi bertingkat. Dana BOS dikelola oleh tiga kementerian, yaitu Kementerian Keuangan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan bertanggungjawab terhadap peruntukan /penggunaan anggaran.
Pada tahun 2020, terjadi perubahan besar, di mana dana BOS disalurkan langsung dari Kementerian Keuangan ke sekolah. Tentu ini terobosan luar biasa yang dilakukan pemerintah karena jelas memotong birokrasi yang tadinya sangat rumit. Harapannya, terobosan bagus ini juga diikuti tata kelola dana BOS yang lebih baik. Harapannya, semoga BOS betul-betul dapat menghasilkan kualitas pendidikan yang baik, mencetak SDM yang berkualitas, hingga kemudian menghasilkan bos-bos (orang-orang besar) yang memimpin Indonesia dengan baik, bijak, berkarakter.
Terbitnya Permendikbud NO 6 tahun 2021
Terbitnya PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2021 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN DANA BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH REGULER, seolah menjadikan mimpi buruk bagi sekolah kecil, bagi Yayasan yang mengelola sekolah kecil, yang tidak memiliki jumlah siswa 60 orang maka selamat tinggal BOS, sebagaimana bunyi BAB II PENERIMA DANA BOS REGULER ayat (2) Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut haruf (d) memiliki jumlah Peserta Didik paling sedikit 60 (enam puluh) Peserta Didik selama 3 (tiga) tahun terakhir; dan. bagi sekolah kecil yang berada dipedesaan atau sekolah dikota tapi gagal dalam (PPDB) Penerimaan Pesarta Didik Baru, maka BOS tak lagi menjadi BOS tapi sudah berubah menjadi BUS (Bukan Untuk Semua). Permendikbud ini biasa dianggap peteka bagi sekolah kecil yang umumnya berada desa atau dikota tapi tersisih oleh persaingan sesama Lembaga Pendidikan.
Realitas Dana Bagi Sekolah.
Bagi sekolah Negeri, dan sekolah Swasta yang belum terkenal BOS merupakan harapan utama dalam pendanaan sekolah untuk memajukan sekolah, apalagi setelah terbitnya PERATURAN MENTERI PEN DIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG KOMITE SEKOLAH yang mengharsukan koimte tunduk untuk melaksanakan pengumpulan dana harus sesuai bunyi :”Pasal 10 ayat (2) Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan”. Yang membuat sekolah dan komite tidak diperkenankan untuk memungut(menarik) dana dari peserta didik lewat orang tua siswa, menurut Permendikbud tersebut komite hanya boleh menerima bantuan (sumbangan) dari orang tua siswa /walinya. Mayoritas orang tua siswa masih belum terbiasa untuk memberikan sumbangan yang begitu besar pada sekolah anak didiknya, karena sebagian mereka menafsirkan bantuan itu hanya diberikan pada Lembaga ke Agamaan, seperti Mesjid, Mushalla dll, sedangkan sekolah karena dianggap milik pemerintah maka mereka mengagap ada dana dan dana itu untuk telah tersedia, dari itu dana BOS menjadi salah satu sumber dana bagi sekolah. Dapat disimpulkan sejak diberlakukan Permendikbud No 75 Tentang Komite maka, semua komite sekolah tidak dapat mengumpulkan dana sesuai yang diharapkan, bahkan banyak komite sekolah yang tidak melakukan permintaan sumbangan lagi pada orang tua siswa, sekolah hanya mengandalkan dana BOS dan BOSDA, diberlakukan Permendikbud No 6 tahun 2021 ini sudah tentu sangat berdampak sekali bagi sekolah kecil dan swasta yang murid belum dapat memenuhi persyaratan sebagimana dituntut oleh aturan ini.
Lebih khusus bagi sekolah swasta yang belum punya nama karena keterbatas Fasilitas, gagal bersaing dengan sekolah negeri, menerima murid baru setelah pilihan terahir, sudah dapat dibayangkan, murid yang kemampuannya sangat terbatas baik ekonmi maupun kecerdasan, maka harapan sekolah hanya mendapatkan dana dari BOS dan BOSDA, jika kedua dana tersebut terkandala tertunda bahkan tak dapat bagian (gagal disalurkan) karena aturan, Kemana lagi mereka mencari dana?..haruskah sekolah kecil tutup karena ketidakadaan dana yang mendudkung, kemana siswa yang ada disekolah tersbut, jika Marger tidak mungkin dilakukan karena letak tempat tingal siswanya yang jauh dari sekolah lainnya, dan social ekonomi keluarganya.
Harapan
Hanya satu harapan kita, semoga ini menjadi renungan oleh Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan, untuk meninjau Kembali persyaratan yang termaktup dalam Permendikbud tersebut, khususnya pada Bab 2 Pasal 2 Ayat (2) huruf (d), demi masa depan Pendidikan dimansyarakat kita.
Jangan sampai pemberlakukan Permendibud itu menyebabkan banyak sekolah tutup dan membuat siswa terlantar dan putus sekolah, tentu ini sesuatu hal yang sedapat mungkin kta hindari.