AMUNTAI - INFO PUBLIK NEWS. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun telah berpulang ke Rahmatullah Abah Guru Danau / Tuan Guru KH. Asmuni , Jumat (2 Februari 2024 / 21 Rajab 1445 H) sore di kediaman beliau di Danau Panggang Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Rencana ulama karismatik ini, akan dikebumikan pada Sabtu (3/2/2024) ba'da Zuhur di Alkah keluarga di Desa Danau Panggang.
Saat ini, ribuan pelayat yang sebagian besar merupakan jemaah pengajian Guru Danau terus berdatangan ke Kecamatan Danau Panggang.
Radius 4 kilometer menuju rumah duka sudah sesak dengan para pelayat yang berjalan kaki maupun naik kendaraan.
Mereka berasal dari berbagai wilayah di Kalsel.
Guru Danau akan dikebumikan di Alkah Keluarga di Desa Danau Panggang, Sabtu (3/2/2024) selepas Zuhur.
Untuk biografi beliau , dikutip dari beberapa sumber nama
“Danau” yang dilekatkan pada KH.Asmuni sebenarnya merupakan nama singkat
dari tempat kelahiran dan tempat tinggalnya, Danau Panggang. Danau
Panggang merupakan salah satu Kecamatan di daerah Kabupaten Hulu Sungai
Utara yang terletak sekitar 24 km dari kota Amuntai.
Guru
Danau dilahirkan pada tahun 50-an di Danau Panggang. Ada yang menulis
tahun 1951, tahun 1955, dan adapula yang menulis 1957 sebagai tahun
kelahirannya. Ayahnya bernama Haji Masuni dan ibunya bernama Hajjah
Masjubah.
Guru Danau merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya
berasal dari daerah Danau Panggang sedang ibunya berasal dari daerah
Marabahan yang pindah ke Danau Panggang.
Guru Danau hidup di
lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama. Orang tuanya
dahulu bekerja sebagai buruh kapal atau buruh angkut dengan pendapatan
yang pas-pasan. Pendapatan yang pas-pasan itu tidak menghalangi semangat
orangtuanya untuk membiayai pendidikan anaknya.
Guru Danau
menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiah di lingkungan
Pesantren Mu’alimin Danau Panggang dan Madrasah Tsanawiyah Pesantren
Mu’alimin Danau Panggang. Setelah itu dia meneruskan studinya di tingkat
atas (aliyah/ulya) di Pesantren Darussalam Martapura. Selama belajar di
Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama
berpengaruh (tuan guru) yang bertebaran di wilayah Martapura,
diantaranya adalah Tuan Guru Semman Mulya, Tuan Guru Royanidan Tuan Guru
Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai. Bahkan setelah memilik
pengajian dan pesantren sendiri, secara rutin Guru Danau tetap mengikuti
pengajian Guru Ijai di Martapura baik ketika masih di Keraton (Langgar
Darul Aman) maupun setelah pindah ke Sekumpul (Langgar Arraudah). Guru
Danau terus mengikuti pengajian Guru Ijai sampai sang guru meninggal
dunia pada tahun 2005.
Setelah tamat di pesantren Darussalam, Guru
Danau sempat pulang ke kampung halamannya. Tidak lama kemudian, pada
tahun 1978, atas anjuran Guru Ijai dia kembali belajar di Pesantren
Datuk Kalampaian Bangil di Jawa Timur. Di sini dia belajar dengan ulama
Kharismatik keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Kyai Haji
Muhammad Syarwani Abdan (w. 1989). Dengan ulama besar ini, Guru Danau
mendapat bimbingan spiritual (suluk) dan belajar secara khusus dengan
Guru Bangil dalam waktu tertentu.
Selain ke Bangil, Guru Danau
juga berkunjung kesejumlah wilayah di Pulau Jawa seperti Pasuruan,
Jember, Malang, Wonosobo, Purwokerto, Solo, dan Yogyakarta menemui ulama
dan habaib yang ada di sana. Di antara ulama atau haba`ib yang beliau
datangi adalah KH. Hamid Pasuruan, Habib Saleh al-Hamid Jember, Mbah
Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, Habib Abdullah bin Abdul Qadir
Bilfaqih Malang, Habib Anis al-Habsyi Solo, Habib Ahmad Bafaqih Tempel
Yogyakarta.
Dengan ulama dan haba`ib ini, Guru Danau belajar sejumlah
ilmu, amalan dan mengambil tarekat tertentu. Kegiatan bersilaturahmi dan
belajar singkat dengan sejumlah ulama dan haba`ib di Jawa ini dilakukan
oleh Guru Danau untuk mendapat berkah ilmu dengan bertemu dan belajar
kepada mereka.
Pada tahun 1980, Guru Danau menikah dengan Hj.
Jamilah binti Maskur yang berasal dari Bitin. Dari perkawinannya itu,
beliau memperoleh tiga belas orang anak (tujuh putra dan enam putri).
Nama anak-anaknya adalah Wahid, Ladaniah, Musanna, Mufidah, Muktiah,
Noor’Ainah, Noorhasanah, Haudi, Syahli, Mujiburrahman, Mujahidah,
Syamsuddin dan M. Naseh.
Guru Danau membuka pengajian agama di
Desa Bitin pada tahun 1980 dan mengajar di Pesantren Salatiah. Pada
tahun 1981, dia kembali membuka pengajian di kampung halamannya sendiri,
Danau Panggang.
Guru Danau menceritakan, ketika ingin membuka
pengajian, Guru Danau terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Ijai.
Sang Guru mengizinkan dengan syarat tidak boleh bapintaan (meminta dana dari masyarakat), harus memakai halat
(dinding) yang memisahkan laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas.
Agar seorang guru dapat ikhlas mengajar, dia harus memiliki kemandirian
ekonomi. Dengan kemandirian ini, seorang guru dapat berkonsentrasi
mengajar dan berdakwah tanpa mengharap imbalan uang.
Pada
tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau
Panggang tidak banyak. Namun lama kelamaan jumlahnya semakin meningkat
hingga mencapai ribuan orang. Pengajian di Bitin dan Danau Panggang
dihadiri jamaah sekitar 3 hingga 6 ribuan. Pengajian di Bitin
dilaksanakan pada Sabtu malam (malam Minggu) sedang di Danau Panggang
dilaksanakan pada Senin Malam. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di
rumah Guru Danau di sekitar Pasar Bitin. Karena tidak ada lapangan yang
luas, ribuan jamaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk
sekitar. Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir
jalan hingga mencapai beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada
pengajian di Danau Panggang. Pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul
Aman (nama yang sama dengan Langgar Darul Aman tempat Guru Ijai
mengajar) yang tepat berada di samping rumah Guru Danau.
Selain
mengasuh kedua pengajian besar di atas Guru Danau juga mendirikan dan
membina beberapa pesantren. Pada tahun 1982, ia mendirikan pesantren
Darul Aman di Kecamatan Babirik (Hulu Sungai Utara). Nama Darul Aman
sendiri mengikuti nama Langgar Darul Aman di Keraton tempat Guru Ijai
mengajar. Guru Danau juga menamai mushalla di samping rumahnya dengan
nama Darul Aman, sama dengan nama langgar gurunya di Keraton Martapura.
Pesantren lain yang dibinanya adalah Pesantren Raudatus Sibyan di Desa
Longkong Kecamatan Danau Panggang dan Pesantren Ar Raudah I di Jaro
Tabalong dan Ar Raudah II di Pangkalanbun.
Pada dekade 1990-an
(sekitar 1998), seiring dengan semakin meluasnya pengaruh dan
popularitasnya, Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabuun Tanjung
(Kabupaten Tabalong). Menurut cerita Guru Danau, pada awalnya, Mabuun
merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha
memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihak-pihak
berwenang untuk menutupnya.
Namun usaha ini tidak berhasil. Dia mengubah
strategi. Dia tidak lagi mengharapkan aparat, tetapi membuka pengajian
di tempat itu. Dengan adanya pengajian yang dihadiri oleh ribuan jamaah
ini, praktik pelacuran dan perjudian itu tidak mendapat tempat dan
berhenti dengan sendirinya. Dengan cara ini, lokasi yang asalnya menjadi
tempat maksiat berubah menjadi komplek pengajian.
Pengajian di
Mabuun, pengajian ketiga yang diasuh oleh Guru Danau, kemudian menjadi
pengajian Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu
jamaah, ada yang menyebutnya mencapai 40 ribuan jamaah. Kuantitas jamaah
yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau
Panggang dan Bitin. Hal ini didukung oleh Komplek pengajian Guru Danau
di Mabuun yang memiliki area yang lebih luas dan lebih baik kondisinya
dibanding pengajian di Bitin dan Danau Panggang sehingga memungkinkan
menampung puluhan ribu jamaah. Dengan kuantitas jamaah yang mencapai
puluhan ribu jamaah ini, Pengajian Guru Danau di Mabuun disebut-sebut
sebagai pengajian terbesar di kawasan Banua Anam.
Pengajian di
Mabuun dilaksanakan pada malam Rabu setiap setengah bulan sekali. Guru
Danau menyatakan, jarak setengah bulan sekali dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada jamaah pengajian untuk mengumpulkan uang
untuk keperluan transportasi mendatangi tempat pengajian. Jamaah yang
bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin, atau yang berada di
kawasan Kalimantan Tengah memiliki persiapan yang lebih luas untuk
menghadiri pengajian di Mabuun. Jarak waktu pengajian yang ditetapkan
oleh Guru Danau ini cukup membantu sebagian jamaah pengajiannya yang
merupakan orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Bagi
murid-muridnya yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas,
mendatangi pengajian di Mabuun bukan merupakan persoalan karena mereka
memiliki kendaraan pribadi yang dapat digunakan setiap saat. Karena itu,
tidak mengherankan, jika sekitar pengajian Guru Danau di Mabuun
berjejer mobil dengan jumlah mencapai ratusan buah.
Materi
pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya
meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah dan
lainnya. Dari beberapa kitab yang dikaji, materi tasawuf tampaknya lebih
dominan. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di
pengajiannya, diantaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi al-Bantani), Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl
(Nawawi al-Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru
Danau lebih banyak menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab daripada kitab
Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh
jamaah karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan
yang ‘ringan’ oleh Guru Danau.
Cara penyampaian Guru Danau dalam
pengajian maupun ceramahnya cukup unik. Guru Danau termasuk ulama yang
sangat humoris. Dalam setiap ceramah atau pengajiannya dia selalu
menyampaikan cerita-cerita lucu, jokes, pantun-pantun, dan
singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan, Guru Danau tidak
segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada baris depan.
Baginya, humor itu penting disisipkan dalam ceramah pengajian agar orang
awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian tanpa merasa bosan
dan berat.
Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya
membaca beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas dan
terkadang tidak selalu terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau
teks yang dibaca karena banyak disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi,
canda dan sebagainya. Teknik seperti ini tampaknya sangat disukai oleh
jamaahnya. Selain mendapat tuntunan, mereka juga mendapat ‘hiburan’ yang
menyenangkan. Teknik ini merupakan salah satu daya tarik orang untuk
menghadiri pengajian Guru Danau.
Cara penyampaian Guru Danau juga
didukung oleh bahasa yang dominan digunakannya, yaitu bahasa Banjar.
Bahasa ini merupakan bahasa yang digunakan mayoritas jamaahnya.
Penggunaan bahasa lokal ini kemudian dibumbui dengan contoh-contoh dan
Ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas sosiobudaya dan
keseharian masyarakat sekitar sehingga isi ceramahnya sangat merakyat.
Dengan cara seperti ini materi yang disampaikannya mudah dipahami oleh
jamaahnya yang berasal dari berbagai lapisan sosial.
Walaupun
penyampaian materi dakwahnya sederhana dan mudah dipahami tidak lantas
dia dinilai sebagai ulama biasa. Sebagai ulama yang lahir dari lulusan
pesantren ternama seperti Pesantren Darussalam yang diakui kualitasnya
dalam memproduksi ulama, dia juga merupakan produk dari sejumlah ulama
besar, seperti Guru Ijai dan Guru Bangil yang otoritas keulamaannya
diakui dan memiliki pengaruh besar. Apalagi, Guru Danau sendiri
merupakan salah satu murid Guru Ijai yang dikader untuk meneruskan
tradisi keulamaan gurunya di kawasan Hulu Sungai. Karena itu, tidaklah
mengheran jika beberapa gaya berceramah dan tradisi pengajian Guru Danau
seperti pembacaan Maulid al-Habsyi menjelang pengajian merupakan hasil
‘peniruan’ dari tradisi Guru Ijai. Ketika Guru Ijai wafat, para jamaah
pengajiannya di kawasan Hulu Sungai segera mendapat figur pengganti yang
mewarisi sebagian kharisma Guru Ijai, yaitu Guru Danau.
Meski
mengasuh 3 pengajian besar dan 4 pesantren, dan sibuk berdakwah di
mana-mana, Guru Danau bukanlah tuan guru yang hanya terpaku pada
aktivitas mengajar dan berdakwah. Guru Danau merupakan sosok ulama yang
aktif bekerja dan berbisnis. Sejak muda ia sudah sibuk bekerja. Berbagai
usaha telah beliau lakukan, seperti bertani, berdagang dan bisnis
lainnya. Dengan kegigihannya berbisnis, beliau dikenal juga sebagai
ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan besar dari beberapa usaha
bisnisnya. Dari beberapa bisnis Guru Danau yang terpenting adalah usaha
emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha ini terutama usaha
sarang burung walet mendatangkan keuntungan besar. Dari usaha sarang
burung walet Guru Danau dapat meraih keuntungan milyaran rupiah. Usaha
burung walet ini dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya
adalah membeli tanah sebagai investasi. Tanah itu bisa dijual suatu
saat.
Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru
Danau menjadi orang kaya. Dia memiliki banyak rumah dan memiliki
beberapa mobil mewah (Alphard). Dengan mobil Alphard yang dimilikinya,
dia dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Walaupun memiliki ini
semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki
yang cukup berlimpah ini tidak digunakan untuk bermegah-megah. Tetapi
digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya, mereka yang
mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang mengurusi
masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan lebih
ikhlas dalam berdakwah dan mengajar karena tidak memiliki kepentingan
untuk mendapat bayaran dari jamaahnya.
Dengan kemandirian dan
kekayaan yang dimilikinya, Guru Danau dapat membiaya semua pembangunan
komplek pengajian dan pesantren yang didirikannya tanpa bantuan pihak
lain. Dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat (bapintaan)
karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga dia tidak mau
menerima dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik.
Menurutnya, jika satu kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak
bisa lagi untuk menasihati penguasa. Bahkan cenderung untuk
dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Kemandirian
inilah yang membuat dirinya tidak bisa diintervensi dan didikte oleh
penguasa dan partai politik.
Menjadi ulama yang kaya dan mandiri
pada figur Guru Danau tidak hanya disebabkan oleh faktor kegigihannya
dalam berusaha, tetapi juga terinspirasi oleh sosok gurunya, Guru Ijai,
yang juga menjadi ulama yang kaya. Guru Danau termasuk salah satu murid
Guru Ijai yang berhasil meniru gurunya pada sisi ini. Tidak banyak murid
Guru Ijai yang dapat mengikuti jejaknya seperti Guru Danau.