Notification

×

Iklan

Iklan

Hilangkan Kekerasan Disekolah

Thursday, September 22, 2022 | 22 September WIB Last Updated 2023-01-09T04:23:49Z

 


Oleh H. Ahdiat Gazali Rahman

Pemerhati Sosial Politik dan  Hukum

Tinggal di Amuntai.


Lahirnya UU perlindungan Anak yang diharapkan menghilangkan kekerasaan dalam pendidikan umumnya dan sekolah khususnya, tenyata belum mendapatkan menyadarkan mereka yang berada dalam pendidikan untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak, karena kekerasan  terhadap anak akan berakibat buruk pada anak, anak dikhawatirkan akan melakukan hal yang sama pada anak lain, yang pasti anak menjadi korban, bahkan terkadang hingga tewas.

Khalayak umum menganggap sekolah adalah lembaga resmi yang mengajarkan tentang Keilmuan, moral dan sebagi bekal hidup mereka kelak, sebagaimana Tujuan Pendidikan Nasional – Pendidikan merupakan pondasi untuk membangun kehidupan menjadi lebih baik melalui proses pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan.

Kegiatan tersebut dilakukan suatu individu dari satu generasi ke generasi lainnya. Sedangkan menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional Pasal (3) mengatakan Tujuan Pendidikan …..…”bertujuan untuk berkembang nya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi melihat rumusan diatas jelas bahwa mereka yang berada pada lembaga pendidikan adalah orang yang secara sadar untuk menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, meliliki sehat jasmani dan rohani, ingin mendapatkan Ilmu, keterampilan, selalu kreatif, diharapkan kelak akan mandiri dalam bingkai Negara Indonesia dan mau bertanggungjawab.

Permasalahan.

Apakah mereka yang selama ini melakukan kekerasan pada peserta didik tidak sadar bahawa mereka yang mereka lakukan bukan hanya merugikan pada korban, pelaku, para tokoh dilembaga tersebut hingga pemerintah, tapi berdampak pada kelangsungan lembaga pendidikan itu sendiri, dengan berkurangnya jumlah peserta didik pada tahun berikutnya, atau diberikan sangsi tegas oleh pemerintah dengan menutup lembaga tersebut.

Pendidikan sangat tercoreng dengan adanya kekerasan, apakah harus lembaga pendidikan melibatkan lembaga hukum seperti polisi dalam proses pembelajarannya? Tentu tak mungkin jika itu terjadi, apakah dengan Regulasi saat ini mereka yang terlibat dalam pendidik belum mampu sadar?, atau para Insan pendidik dan tenaga pendidik serta peserta didik belum memahami makna yang diinginkan oleh Negara lewat regulasi khusus perlindungan pada anak ? , mereka hanya disibukkan dengan dengan berbagai tuntutan pekerjaan dan administrasi dalam mengejar untuk menjadi guru yang professional, sehingga lupa regulasi lain tentang hak anak.

Harapan 

Lahirnya undang Undang perlindungan anak diharapkan mampu memberikan perlindungan pada anak dilingkungan pendidikan terbebas dari kekerasaan, hal ini sesuai dengan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Pasal 9 ayat (1a) Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Pasal 54 (1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat. 

Pasal 23  (2) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah mengawasi penyelenggaraan Perlindungan Anak. Pasal 59 ayat (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak. Ayat (2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: i. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis; dan Pasal 76C Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Jadi jelas sekali Pemerintah dan pemerintah daerah punya pungsi pengawasi pelaksanaan Perlindungan anak, dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan pada anak dilembaga pendidikan. Lembaga pendidikan adalah perpanjangan tangan dari pemerintah daerah, sudah selayaknya ikut bertanggungjawab terhadap perlindungan anak dari kekerasan, sehingga jika terjadi kekerasan pada anak dilingkungan sekolah maka yang mendapat  sangsi pidana bukan hanya yang melakukan kekerasan tapi pada mereka yang melihat tapi tidak melakukan pencegahan yang dapat dikategorikan pembiaran, apalagi jika memberikan toleran terhadap kekerasaan pada anak, tindakan itu dianggap melanggar UU perlindungan anak khusunya pasal 76 C tersebut dan dapat dituntut sebagaiman bunyi  Pasal 80 (1).

Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Ayat (2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). ayat (3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pendidikan kita sekarang adalah pendidikan modern bukan menganut sistem penjajah yang pernah dirasakan oleh sebagian bangsa kita saat itu, memang saat itu aturan semua ditegakkan dengan Hukum fisik, tidak mengerjakan PR diberi sangsi Hukum berdiri didepan kelas, melanggar aturan lain, berkuku panjang tangan dipukul, rambut panjang dipotong ditengah apel upacara. Hal itu sebaik dan seharusnya sudah ditinggalkan, pradikma pendidikan kita sudah berubah, yakni menjadikan manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sehingga insan pendidik atau mereka yang berada dalam dunia pendidikan jika menemukan pelanggaran aturan atau tata tertib sekolah, terlebih dahulu diberikan pertanyaan apakah perbuatan itu sudah cocok/sejalan dengan agamanya, atau bertentangan.

Apakah bermoral atau melanggar moral, membawa kesehatan atau sebaliknya, secara keilmuan apa perbuatan itu sejalan atau berlawanan, perilaku membawa positif atau sebaliknya, bagaimana dengan Hukum Negara apakah sebuah tindakan itu dianggap melanggar aturan Negara, siapkah untuk bertanggungjawab.

Dan tidak perlu melakukan pemukulan  atau hukum badan lain yang dapat membawa terganggunya fisik atau psikis siswa. Lembaga pendidik hanya boleh memberikan penilaian terhadap perilaku peserta didik apakah baik, buruk, sedang, jika baik maka diberikan nilai baik dapat berhasil naik atau lulus, jika jelek diberikan penilaian dengan mengulang tahun berikutnya. 

Kesimpulan.

  1. Pradigma pendidikan sudah berubah, hukuman tidak perlu dan tidak boleh menyakiti fisik, fysikis  anak.

  2. Jangan toleran adanya kekerasan dilembaga pendidikan sekecil apapun, karena itu dapat mengundang sangsi hukuman pada pelaku, dan mereka yang mengetahui tapi tidak berbuat untuk mencegah kekerasan sebagimana bunyi pasal  Pasal 80 ayat (1), (2) dan (3).

  3. Sekolah/lembaga pendidikan hanya dapat memberikan hukuman administrasi lewat penilaian, apakah baik, sedang, buruk, berhasil, gagal, bagi peserta didiknya. Semoga bermanfaat




×
Berita Terbaru Update