![]() |
| Kesenian |
KOTABARU- Langit Desa Sebelimbingan sore itu merayap memerah, menyisakan bias keemasan yang menembus rapatnya kanopi Hutan Meranti. Udara terasa dingin, namun suhu di panggung utama MP2AF yang di gelar Disparpora Kotabaru memancarkan kehangatan gairah yang tak terhingga, Senin (1/12).
Di sana, di antara aroma tanah basah dan resonansi alat musik tradisi, berdirilah seorang pria yang matanya menyimpan kisah panjang tentang ruang hidup dan batin perlawanan akan lunturnya warna budaya, ialah Daeng Misbah kami menyapanya.
Hadir bukan hanya sebagai seniman, tetapi kehadirannya kali ini terasa lebih sakral, ia seolah intim merasakan rintihan suara denyut meranti seakan kembali ke rahim dimana tempat festival ini dilahirkan.
Daeng Misbah, dengan langkah kakinya ribuan kilometer nun jauh disana, memilih bertolak ke pangkuan Meranti, membawa serta keringat sebagai bekalnya.
Ia hadir tidak hanya sebatas menyaksikan euforia panggung. Jauh sebelum tirai penutup diturunkan, ia telah menyibukkan diri di sebuah ruang tepian di sana, lahir puluhan wajah muda, anak-anak pelajar Kotabaru, menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Itulah Workshop Khusus, sesi berbagi pengetahuan yang dibawanya untuk ikhlas didedikasikan kepada generasi muda Kotabaru.
Tampak jelas dinding batas dan jurang curam tak terlihat lagi saat ucapan demi ucapan keluar bagai sabda alam untuk generasi milenial memahami warisan seni tradisi untuk masa depan.
Pena dan kertas berhadapan penuh coretan berisi esensi pengetahuan tentang budaya yang kian tergerus oleh derasnya arus digital. Daeng Misbah, dengan suara yang tegas namun teduh, bertutur, membongkar rahasia di balik ruang dan ekosistem pertunjukan. Ia tidak hanya mengajar, menularkan semangat.
"Seni tradisi kita, Nak, bukan fosil yang hanya pantas disimpan di museum. Dia harus menjadi nafas yang kalian hirup setiap hari," pesannya, seolah ia sedang menyuntikkan booster antibodi tentang kebudayaan ke dalam jiwa-jiwa muda di hadapannya.
Misi penting dari pendidikan informal ini adalah pondasi program MP2AF yang sesungguhnya, memastikan bahwa regenerasi peristiwa seni mampu melahirkan bibit-bibit baru di Banua ini, agar berkelanjutan tidak mati suri-atau eksis namun tak memiliki roh atau jiwa..
Daeng Misbah terus memandang panggung alam di Hutan Meranti, dimana tempat MP2AF kini merayakan janji leluhur pada edisi kali keempatnya.
"Sayangnya tak banyak seniman memilih hadir ke Hutan Meranti, mungkin bahkan tak ingin terlibat pungkasnya. Padahal sudah banyak yang membuktikan bahwa ruang desa adalah nadi budaya kita, segala potensi budaya, tradisi dan seni di sekitar kita desalah yang melahirkannya" ungkapnya.
Baginya, festival ini adalah sebuah sikap menancapkan perlawanan tentang model sentralisasi seni yang selalu berkibar hanya di perkotaan.
"Ini bukan tentang panggung mewah, karpet panjang di beton kota, tapi tentang panggung yang mampu menyatu dengan para penjaga alam dengan segala ekosistem yang ada," tegasnya.
MP2AF, yang lahir dari kecintaan yang murni untuk merawat alam dan budaya, kurung waktu empat tahun telah berhasil menjadi tonggak pergerakan seniman lokal desa di kawasan hutan metanti putih, lalu mewujud menjadi magnet bagi banyak seniman dari luar daerah.
Mereka adalah sosok panutan bagi regenerasi seni tradisi di tingkat akar rumput, sebuah upaya konkret untuk menyelamatkan warisan leluhur dan kekayaan tak ternilai harganya.
Ketulusan dan kebersamaan Daeng Misbah terangkum dalam keterlibatannya dengan peristiwa tradisi Grebek Kampung dalam festival. Ia memastikan bahwa seni dapat berjalan beriringan dengan pergerakan ekonomi. Merekatkan sinergi antar warga sebagai ruang kohesi kultural yang damai, indah dan bahagia.
"Tantangannya untuk bertahan tentulah semakin berat kedepan. Tapi melihat antusiasme warga dan partisipasi anak-anak muda yang mau kembali belajar budaya, lalu melihat pelaku ekonomi warga Sebelimbingan yang bergerak berjuang menjajakan kuliner saat festival, itu sudah lebih dari cukup," tutur Daeng Misbah.
Ia berharap, kerja keras Dinas Pariwisata Kebudayaan Kotabaru tak lelahnya merajut harmoni alam untuk tetap berlanjut, dan mampu menjadi contoh nyata bahwa peristiwa budaya dan seni itu bukan sekadar hiburan atau penyaluran hobi. "Ini harus menjadi jalan untuk terus bernafas bagi warga desa sekitar, dengan menjaga lingkungannya, kebudayaannya, maka akan tiba waktu untuk mampu mensejahterakan dan membahagiakan warganya," pungkas Daeng Misbah.
Di penghujung hari, ketika suara musik mulai mereda dan peserta workshop selesai, Daeng Misbah berdiri tegak. Ia tahu, benih yang ditaburkan mulai berakar untuk tumbuh berkembang.
Meranti Putih Perform Art Festival, bukan sekadar tontonan semata, ini adalah janji abadi antara manusia, seni, dan alam di Tanah Kotabaru.
Penulis: Jumadil
