Notification

×

Iklan

Iklan

Rakyat Jangan Dikacangin

Monday, November 13, 2023 | 13 November WIB Last Updated 2023-11-15T23:31:55Z



Oleh: Kadarisman

Presidium Majelis Daerah KAHMI Tabalong


 Pemilu 2024 di ambang mata. Rakyat tak ubahnya makhluk paling seksi tiap menjelang pemilu. Kini pembicaraan politisi selalu tentang rakyat.  Suara rakyat jadi rebutan. Tak jarang elit politik berantem hanya karena urusan rebutan rakyat.  Politisi lagi berahi memeng seperti itu. Selepasnya tak jarang rakyat pun akan dilupakan.


 Politik kacang lupa kulitnya tak ubahnya dalam dunia  percintaan yang hianat. Habis manis sepah dibuang. Biduk lalu kiambang di buritan. Janji tinggal janji.  Saat pemilu datang sebagai hamba, sudah terpilih susah ditemui. Pepatah-pepatah itu fakta praktik politik yang umum terjadi. Pola seperti itu ditiru oleh politisi baru atau orang yang baru terjun dalam politi praktis. Seperti turun temurun. Hanya sayangnya yang diturunkan adalah ilmu yang tidak memberdayakan. Nyatanya saat ini pun marak terjadi.


 Berantemnya elit tidak hanya terjadi di tataran atas atau puncak antarpartai politik. Persikutan juga terjadi di internal partai politik bahkan  terjadi di level daerah pemilihan (dapil). Hal sama kemudian menjalar ke tingkatan grass root, masyarakat bawah. Sebabnya maklar suara sebagai perpanjangan politisi yang ahistoris tapi berduit bergerilya. Mereka menawarkan figure politisi tanpa jejak rekam dengan imbalan. Transaksional electoral terjadi. Pembodohan dan kemiskinan terus diharapkan, agar rakyat tidak memahami politik substantive dan selalu dapat dibeli.


 Pemilu selalu dihadapkan pada hal itu. Kesadaran politik masyarakat sipil tak tereskalasi lebih baik karena memang diharapkan tetap dalam kondisi yang marginal. Marginalitas adalah pasar empuk sebagai komoditas bagi politisi melakukan transaksi suara. Rakyat tak berdaya didesak oleh kebutuhan jangka pendeknya. Bukan harkat martabat rakyat  yang terjual, tetapi konstruksi politik dan demokrasi procedural bangsa yang gagal mencerdaskan mereka. Partai politik adalah komandannya.


 Tidak bangkitnya kesadaran politik bangsa tidak luput dari peran partai politik. Di Indonesia, partai politik adalah infrastruktur politik paling gagal menjalankan amanah konstitusi sebagai tempat lahirnya pendidikan politik.


 Alih – alih melakukan edukasi politik, justru sebaliknya partai politik menjadi mesin melakukan pembodohan politik. Partai politik menutup mata atau bahkan memberikan arahan, bahwa arus  pembodohan politik paling kuat justru lahir dari partai politik itu sendiri.


Akan ada orang yang yang mengatakan tidak semua begitu. Tentu saja tidak semua, karena masih ada partai politik dan politisi yang “syar’iyah”  yang menekankan politik moral, mengedepankan kejujuran dan keterbukaan dalam membangun wawasan politik kebangsaan dengan konstituensinya.


 Politik syariyah tidak memisahkan apakah partai politik tersebut berhaluan nasionalis, konservatif atau religious, karena penyuaraan moralitas tidak melekat pada simbolisitik tetapi pada aktualisasi politik. Nasionalis adalah religious dan religious adalah nasionalisme.


 Simbolisme pada partai politik jangan menjadi sihir atas kemampuan kita melihat dan merasakan manakah dari mereka itu yang betel-betul membersamai rakyat. Identitas dan symbol tidak menjadi penting tanpa aktualisasi nyata. Seperti tidak pentingnya ruh tanpa jasad, tidak pentingnya jasad tanpa ilmu, tidak pentingnya ilmu tanpa amal dan tidak pentingnya amal tanpa keikhlasan.


 Keadaan itu setidaknya menjadi cahaya harapan, bahwa akan tiba masanya bangsa ini akan memiliki kedaulatan di atas keasadaran bangsanya sendiri. Kesadaran politik kontributif melalui kemampuan rakyat melakukan seleksi pilihan didasarkan pada rasionalitas  dan meritokrasi antara yang dipilih dengan yang memilih.


 Pemilu yang di ambang mata tersebut hendaknya menjadi kesepakatan semua elemen bangsa agar betul – betul dimaknai sebagai sarana kemerdekaan rakyat dan memerdekakan anak bangsa ini berdaulat mendeligasikan suaranya secara cerdas, terbebas dari cara – cara yang membodohkan.


 Partai politik dan politisi mesti menjadi lokomotif paling depan melakukan pencerdasan itu kepada konstituensinya, bukan sebaliknya menjadi diri yang paling depan melakukan politik amoral, merekrut maklar suara untuk membeli  rendah sekaligus melakukan penghinaan pada rakyatnya sendiri.


 Pada akhirnya pemilu 2024 haruslah menjadi evaluasi dari pemilu sebelum – sebelumnya. Jadikan pemilu 2024 sebagai memberikan nilai raport atas kinerja kekuasaan yang mereka  saat ini duduk di legislative atau di pimpinan eksekutif. Evaluasi juga pola-pola komunikasi caleg baru yang masih mengadopsi pola-pola lama, pola seniornya  yang masih melakukan pola menganggap rendah kepada pemilihnya.


 Pemilu 2024 ini harus dirawat sebagai pengajaran bersama untuk menumbuhkan kecintaan pada proses demokrasi dalam membangun politik kebangsaan kita. Tidak boleh pemilu sebagai ajang mengacangin rakyat dan menghinakannya dengan transaksional yang tidak terhormat dan tak berharga. Rakyat jangan dikacangin, karena dialah tuan pemilik kedaulatan. Kualat!*



×
Berita Terbaru Update