Oleh: Kadarisman
Coach & SEFT Healing Trainer
Jika karena hanya rindu itu hanya "dandaman". Jika hanya karena teringat-ingat laksana bayang-bayang seseorang menari di pelupuk mata, itu namanya "kaganangan".
Tapi jika dandaman bertumpuk bertindih kaganangan dimana rasa dan hasrat berkelindan pada hati seorang sendiri maka tercipta fase baru, itu namanya "karindangan."
Karindangan demikian cukup menyiksa. Pasalnya, rasa ini tak dapat dirasa oleh orang lain yang dikehendaki. Kerap hasrat menusuk merajam diri, tapi orang yang dituju tak mengerti dan tak tahu menahu.
Kerap rasa karindangan kemudian dikaitkan dengan mitologi setempat sebagai orang yang kena guna-guna, lantaran tergila-gila tetapi pihak lain tak hirau-hirau juga.
Karindangan terjadi karena kumparan ekspektasi yang terpantik oleh pesona dari aktor individu oleh sebab figur serupa itu telah hidup dalam harapannya.
Kegagalannya mengelola harapan akan sangat berdampak manakala kenyataan ternyata bertolak belakang. Terlampau besar harapan disematkan kepada manusia atau makhluk maka semakin besar potensi kecewa yang dituai.
Dalam terminologi tauhid, harapan sejati tak boleh dititipkan kepada makhluk, karena sama halnya bersengaja menanam pohon kekecewaan.
Karena itu Tuhanlah yang menjadi tempat menitipkan semua harapan, lalu doa yang dilafadzkan minta agar Tuhan lah semata yang menemani si setiap detail aktivitas hidupnya.
Karindangan adalah fenomena hati yang tidak terlepas dari hukum kemelekatan atau entanglement. Semakin kuat daya harapnya pada sesuatu semakin terjerat dirinya oleh sesuatu itu.
Seperti orang kaya yang kikir, seumapama air di genggaman pun tidak titik, saking melekatnya dia pada hartanya. Pada keadaan demikian hukum entanglement terjadi.
Akibatnya dahsyat, seseorang bukan saja bisa "karindangan" dengan harta tetapi bisa sampai menjadi budak dari hartanya sendiri.
Jika karindangan telah menguasai hati maka hukum kuantum akan terjadi. Hukum energi pada level quantum dapat memengaruhi pikiran dan aktualisasi sikap yang lebih mencengangkan.
Kemelekatan yang tidak disadari kemudian dapat merusak tanpa diri itu sendiri mampu menyadari dan memahami.
Karindangan sejatinya mudah dinetralisir. Seseorang hanya membutuhkan self awarness bahwa jangan pernah melawan hukum alam yang menjadi representasi hukum Tuhan di alam semesta.
Melepaskan diri dari karindangan tidak dapat dengan melupakan. Adalah tidak mungkin seseorang diminta untuk melupakan sesuatu yang sudah begitu kuat menancap dalam relung hati terdalam.
Semua data-data sudah terekam baik di dalam otak bawah sadar. Meminta seseorang melupakan itu membuatnya akan semakin berat dan semakin karindangan dan kian melekat.
Lalu bagaimana?
Diri dapat menjadi sumber dari setiap masalah. Maka penyelesaian dari semua masalah ada pada diri itu sendiri. Tuhan jadikan manusia sebagai penciptaan dalam bentuk yang sempurna walau manusia secara pribadi selalu tak pernah sempurna.
Menerima ketidak sempurnakan menjadi pintu masuk penyelesaian awal. Memahami bahwa diri adalah yang serba terbatas dan hanya Tuhan yang sangat tidak terbatas membuat diri melampaui sekat-sekat kekurangannya melampaui angkasa raya.
Semakin tinggi seseorang mengangkasa semakin tahu bahwa dirinya semakin rendah. Semakin dia banyak tahu dan berilmu maka semakin dia kemudian menjadi tidak tahu.
Kondisi karindangan harus digiring pada pengakuan fitrah diri dan pengakuan kepada Kemaha besaran Tuhan. Bahwa dialah satu-satunya zat kekuasaan yang memiliki prerogatif atas sebuah harapan dan ekspektasi.
Memindahkan sebuah keyakinan pada tauhid seperti itu membuat kemelakatan pada hal apapun akan runtuh seketika itu juga.
Menurut Bruce Lipton seorang ahli biologi dari Amerika Serikat, mengatakan bahwa keyakinin dapat mengubah struktur sel tubuh manusia hingga ke level DNA.
Kemelakatan akhirnya yang mulanya terkunci menjadi hancur lebur. Maka jadilah orang kaya yang kikir menjadi dermawan, jadilah orang yang kemaruk kekuasaan menjadi merakyat dan jadilah orang yang karindangan tadi menjadi sadar diri, dia adalah penanggung jawab atas kebahagiaannya sendiri, bukan orang lain.*