Notification

×

Iklan

Iklan

Menjadi Pemenang Sejati

Tuesday, June 4, 2019 | 04 June WIB Last Updated 2023-01-09T04:09:22Z

Oleh:  Kadarisman
(Pemerhati sosial, di Tanjung, Tabalong)


Bulan Ramadhan 1440 H akan usai. Kehadirannya di penghujung pesta demokrasi bisa dijadikan kontemplasi bagaimana ekses pemilu dapat menjadikan rujukan mawas diri. Benturan narasi kontestasi yang selama ini ada hanya ekses euforia kedaulatan rakyat yang sedang belajar memaknai kebebasan demokrasi. Dinamika itu sebagai hal wajar, namun akan segera sampai pada akhir. Idul Fitri akan menjadi ruang penyematan dan penyadaran kita sebagai pemenang sejati.


Ramadhan itu sejatinya bulan pertempuran. Catatan sejarah setidaknya membukukan beberapa battle di bulan tersebut. Perang Badar misalnya yang terjadi pada 17 Ramadhan pada tahun ke 2 Hijriah, Fathu Makkah, pembebasan kota Mekkah pada 10 Ramadhan di tahun 8 Hijriah atau perang Tabuk, perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah Saw pada 8 Ramadhan tahun 9 Hijriah.


Bulan Ramadhan, adalah bulan tempur, dimana kemudian kemenangan demi kemenangan dicatatkan di dalam tulisan sejarah. Perang Badar, satu perang  fenomenal yang akan selalu dikenang sebagai perang yang besar. Tetapi kemudian, Nabi Muhammad Saw menyebutnya hanya sebagai perang yang kecil.



Seketika sahabat  bertanya, apakah akan ada perang lebih besar dari itu? Rasulullah menjawabnya, masih ada perang yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu. Dan Ramadhan adalah medan pertempuran paling besar sebagai pertaruhan kalah menang melawan hawa nafsu di dalam diri sendiri.



Inilah bulan kontestasi spiritual sekaligus sosial yang memiliki medan berat tiada kira. Bulan ini menjadi penempaan jiwa raga, fisik dan psikologis agar kita siap untuk tidak terjebak pada orientasi kemenangan  dalam medan  kontestasi yang lebih kecil seperti pilpres atau pileg.



Di setiap keadaan yang kemudian membuat kita terpecah belah, atau terputusnya silaturahim maka akan segera terpatri kembali. Itu pasti, karena penempaan Ramadhan meberikan jaminan kita untuk memerdekakan diri dari nilai-nilai yang bertentangan dengan semangat spritualitas dan sosial respect.


Genap 30 hari masa penempaan. Sebulan kita berjihad untuk berada di koridor perintah Allah dan NabiNya memenuhi seruan Illahi sebagai orang yang beriman agar menjadi hamba yang bertaqwa. Itu tidak mudah. Hanya orang-orang hebat yang mampu melakukan perang itu: orang-orang pemenang.


Metamorfosis Ramadhan sejatinya membawa kita pada pribadi yang benar, dan dijadikan modal berkehidupan pada fase selanjutnya. Di fase metamorfosis itu kita tidak semata akan dekat dengan Allah Azza wajalla, tetapi juga berdampak  kedekatan kepada manusia lainnya. Kedekatan-kedekatan itulah sejatinya refleksi , bahwa Tuhan hadir dalam kehidupan kita, karena Dia lebih dekat dari urat leher itu sendiri.



Kemampuan untuk menjadi bagian dari sesama adalah inti kesalehan spiritual. Bagaimanapun, bahwa kesalehan sosial menjadi bagian penentu spiritualitas mendapatkan nilai di mata Allah SWT. Pertentangan untuk saling destruktif sudah tak ada lagi pada mereka yang menamatkan Ramadhan. Orang-orang akan terlahir dengan pribadi yang memesona untuk kemudian menjadikan Idul Fitri sebagai hari penuh damai dan kemenangan.



Idul Fitri hadir sebagai hari penyambutan kemenangan. Laksana sebuah medan tempur, Idul Fitri hanya akan diisi oleh suka cita, rasa bahagia, kasih sayang, menguatkan persaudaraan dan harapan membangun masa depan yang penuh dengan Rahmat Allah SWT.



Idul Fitri harus menjadi ejawantah dalam kehidupan pribadi, sosial politik dan adat peradaban bermasyarakat dalam bernegara. Jika kita bagian  yang menjadi peserta metamorfosis itu, maka saat Idul Fitri datang, kitalah pemenang sejati itu.



Pemenang sejati tak melihat bentuk kemenangan dari standar kepentingan diri sendiri. Ia bisa saja tampak kalah dalam banyak hal, tetapi memilih untuk membuat orang lain berasa mendapat kemenangan menunjukkan bahwa dia adalah pemilik kemenangan yang sesungguhnya.


Mengutip Jalaludin Rumi, seorang filsuf Islam mengatakan bahwa Idul Fitri pertanda bahwa 'aku' yang sejati telah menyembelih aku yang palsu. Aku yang palsu yaitu aku yang telah terkontaminasi dari kemahsyuran, kekuasaan dan keangkuhan.


Jadilah kita yang sejati dan pemilik kemenangan yang hakiki, terlahir kembali guna membenahi koyaknya jalinan silaturahmi dan menyulam lagi ukhuwah Islamiyyah, ukhuwah wathaniyah dan ukuwah insaniah. Menjadi pemenang untuk menjadi pribadi yang memesona untuk kemaslahatan ummat. Bagi Allah inilah seorang pemenang. (*)

×
Berita Terbaru Update