Belakangan ini media sosial kembali diramaikan oleh opini liar yang menuding bahwa dana pemerintah daerah yang tersimpan di bank merupakan bentuk penyimpangan atau bahkan ajang mencari keuntungan pribadi. Tuduhan seperti ini perlu diluruskan agar publik memperoleh pemahaman yang benar berdasarkan fakta dan ketentuan hukum yang berlaku dalam sistem keuangan negara.
Sebagai pemerhati sosial, saya memandang perlu menjelaskan beberapa hal mendasar agar masyarakat tidak terjebak dalam persepsi yang menyesatkan.
Uang daerah yang tersimpan di bank bukanlah uang yang dibiarkan tanpa tujuan. Dana tersebut masih berada dalam proses pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Penyerapan anggaran memerlukan tahapan administrasi, seperti verifikasi dokumen, proses lelang, hingga pencairan. Oleh karena itu, penempatan dana sementara di bank adalah hal yang wajar dan sah secara hukum, bukan bentuk kelalaian apalagi penyimpangan.
Seluruh dana pemerintah daerah disimpan di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) — bukan rekening pribadi.
RKUD ini berada di bawah pengawasan langsung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Daerah, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri.
Artinya, setiap transaksi bersifat transparan, terpantau, dan tidak dapat digunakan di luar ketentuan.
Adapun Pengendapan Sementara Bersifat Teknis, saldo sementara di bank umumnya terjadi karena proses lelang atau pengadaan yang masih berjalan, keterlambatan transfer dana pusat seperti DAU/DAK, atau penyesuaian laporan pertanggungjawaban sebelum pembayaran.
Kondisi tersebut bukan bentuk pembiaran, melainkan bagian dari prinsip kehati-hatian dan ketertiban anggaran.
4. Bunga Bank Menjadi Pendapatan Daerah
Apabila terdapat bunga atau jasa giro dari dana yang tersimpan, hasil tersebut tetap menjadi pendapatan sah daerah.
Hal ini diatur dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 Pasal 61 ayat (2). Tidak ada ruang hukum bagi siapa pun untuk mengambil manfaat pribadi dari bunga tersebut.
Setiap rupiah tercatat dalam sistem keuangan daerah dan menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Saat ini pemerintah daerah telah mengimplementasikan berbagai sistem keuangan berbasis digital seperti SIPD, e-Budgeting, dan e-Planning, yang memungkinkan pengawasan secara real time oleh publik maupun lembaga pengawas.
Langkah ini menunjukkan komitmen kuat terhadap transparansi, efisiensi, dan tata kelola keuangan yang akuntabel.
Terkait isu yang kini viral tentang dugaan penyelewengan bunga bank dari dana pemerintah daerah di Kalimantan Selatan, yang bahkan menuding Gubernur H. Muhidin atau pihak lain, saya menilai tuduhan tersebut tidak berdasar dan berpotensi menyesatkan publik.
Beberapa rasionalitas yang perlu dicermati:
1. Dana daerah yang tersimpan di bank berada di RKUD, bukan rekening pribadi.
2. Bunga yang timbul dari RKUD adalah pendapatan daerah yang sah sesuai aturan.
3. Seluruh transaksi keuangan daerah diaudit BPK dan diawasi Inspektorat, sehingga ruang penyelewengan pribadi tertutup.
4. Menyebarkan tuduhan tanpa bukti sah hanya akan menimbulkan keresahan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi resmi.
5. Fakta personal Gubernur H. Muhidin yang dikenal dermawan dan rutin menyumbangkan gajinya untuk kegiatan keagamaan membuat tuduhan tersebut secara moral dan logika sangat lemah.
Menjaga Etika dalam Beropini Publik
Kritik sosial tentu penting dalam demokrasi, tetapi harus disampaikan secara bertanggung jawab, berdasarkan data dan fakta.
Mengembangkan opini tanpa dasar justru dapat mencederai rasionalitas publik dan mengaburkan esensi pengawasan sosial itu sendiri.
Saya mengajak masyarakat Kalimantan Selatan untuk tetap tenang, berpikir jernih, dan mengedepankan klarifikasi yang berbasis data sebelum menyebarkan atau mempercayai informasi di media sosial.
Transparansi dan akuntabilitas tetap harus ditegakkan, tetapi keadilan dalam menilai dan bijak dalam beropini juga merupakan bagian penting dari etika publik yang beradab.
Rosihan Anwar (**)
Setiap opini yang dipublikasikan menjadi rana penulis
