Notification

×

Iklan

Iklan

Wisuda TK Hingga SMA Antara Substansi dan Prestise

Thursday, May 1, 2025 | 01 May WIB Last Updated 2025-05-01T06:12:49Z


Oleh: Kadarisman

Presidium Majelia Daerah KAHMI Tabalong


Memasuki akhir semester genap, sekolah akan melepas anak didiknya ke jenjang yang lebih tinggi. "Ritual" tradisi akademik digelar. Mulai dari acara wisuda hingga tamasya. 


Kegiatan di luar dari pakem akademik ini beberapa tahun terakhir jadi sorotatan. Isunya  mulai dari adanya motif ekonomi sekolah di baliknya hingga tingkat kecelakaan yang banyak merenggut korban jiwa siswa. 


Masih layakkah perpisahan sekolah ikut-ikutan Perguruan tinggi melakukan wisuda kepada siswanya dipertahankan atau justru itu tidak perlu dilakukan. Masih proper kah memobilisasi siswa di masa libur bertamasya hingga korban dari mereka terus bertambah? 


Ruang dialektika  tentang urgensi  mewisuda anak - anak didik ke level yang lebih tinggi dari TK hingga SMA menghangat lagi setelah terjadi perdebatan Kang Dedi Mulyadi  (KDM), Gubernur Jawa Barat dengan Aura Cinta, seorang siswi SMA.  Substansial kah atau hanya sebuah prestise belaka? 


Diskursus  tradisi di sekolah tersebut membelah publik kepada dua kutub. Ada yang berpendapat prosesi perpisahan yang diselenggarakan sekolah telah keluar dari substanai prosesi perpisahan, bahkan ada motif ekonomi pihak tertentu mengelaborasi pundi - pundi wali murid. 


Kebijakan yang dilahirkan atas nama keputusan komite tersebut pada akhir menjadi dilema wali murid. Tidak ikut nanti malu. Mau ikut namun memaksa diri. Pada akhirnya memaksa diri harus diambil dari pada malu dan agar anaknya tidak teralienasi dari cyrcle sekolah yang berdampak anak menjadi minder. 


Akibat memaksa diri itu kemudian berdampak pada anggaran belanja rumah tangga. Bagi keluarga kurang mampu akan mengalami defisit anggaran. 


Jika anggaran rumah tangga defisit, wali murid tidak punya banyak pilihan seperti APBD yang bisa mengajukan perubahan anggaran misalnya, atau memanfaatkan dana silpa yang tak terpakai akibat planing dan eksekusi tidak nyambung. Satu - satunya jalan adalah tambah utang. 


Jika pilihannya tambah utang maka lembaga keuangan yang paling cepat dan mudah diakses adalah rentenir atau pinjaman online atau pinjol. Dari sinilah kemudian problem multi kompleksitas terjadi.  


Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian meniadakan sekolah menggarap perpisahan dengan membuat wali kelas yang kurang mampu mendapat beban yang tak bisa terelakkan. Tidak hanya Jabar yang melarang tapi juga daerah - daerah lainnya, seperti Batam, Solok Sumatera Barat, Mataram, DKI Jakarta dan lainnya. Kalau bagiaman di daerah kita? 


Namun demikian kita juga mesti menyelami landasan dan alasan pihak sekolah menjadikan prosesi wisuda. Argumentasi Aura Cinta yang disampaikannya langsung kepada KDM juga menunjukkan ada aspek lain yang dipahami kenapa selebrasi perpisahan itu masih layak ada. 


Momentum menamatkan sekolah di masing - masing level adalah kesempatan yang tidak terulang dua kali lagi. Menciptakan moment indah pada kesempatan itu tidak semata keinginan sekolah, namun juga keinginan siswa dan wali muridnya. 


Berangkat dari keinginan itu sekolah memberi ruang di mana anak didik dan pendidiknya di sekolah berkesempatan mengabadikan  suasana emosional yang tidak akan ada lagi ketika mereka betul - betul berpisah. 


Wisuda dan tamasya diyakini sebagai satu dari banyak pilihan yang relevan dipilih guna membingkai kenangan dan saling melepaskan kerelaan. 


Tidak berlebihan jika selama tiga tahun siswa dan guru didiknya hidup dalam kebersamaan, dan ketika berpisah yang mereka inginkan hanyalah terpotretnya moment  saling memeluk sebagai bahan ingatan, lalu menghapus awgala kekhilafan yang terjadi dengan ikhlas. 


Sintesanya adalah wisuda dan tamasya bukanlah substansi dalam pakem akademik. Ada dan tidaknya wisudan dan tamasya sama sekali tidak memiliki efek apapun. Karena yang lebih  substantif adalah bagaimana sekolah mendorong kepada wali murid untuk menyiapkan  sumber dana tersisa mengantarkan siswa ke jenjang pendidikan  yang lebih tinggi. 


Namun pun demikian sekadar "mahimungi" siswanya dalam mengabadikan tanda dia naik ke level sekolah selanjutnya bukan pula sekadar prestise, tetapi sebuah kebijaka akomodatif pada sisi unik manusia  memenuhi kebutuhan psikologisnya dalam tatanan kehidupan sosialnya. 


Apakah kemudian wisuda dan tamasya sekolah ini layak dipertahankan atau tidak, maka saya melihatnya bukan pada persoalan itu, tetapi pada persoalan relasi kuasa kebijakan sekolah dan komite sekolah apakah sudah memainkan perannya secara bijak sehingga lahirnya sebuah kebijakan itu? 


Kebijaksanaan harusnya menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan. Perspektif yang digunakan bukan kaca mata kuda, tetapi perspektif yang holistik. Pengambil kebijakan mesti mampu menempatkan diri berada pada semua sisi kepentingan agar tidak ada pihak yang teralienasi. 


Namun yang lebih penting sekolah harus bebas dari sikap mengambil keuntungan sekecil apapun dari prosesi yang tidak wajib itu. Pengelolaan finansial yang wali murid setorkan atas nama kesepakatan dengan komite sekolah itu mesti menyediakan ruang audit sebagai bentuk menjaga marwah bahwa kegiatan itu memang layak dilakukan. 


Pertanyaannya sekarang, sekolah dan komite sekolah mana yang memberi ruang audit bahwa dana wali murid yang dikumpulkan  itu digunakan secara bertanggung jawab?


Uploder: Tim


×
Berita Terbaru Update