Oleh: Kadarisman
(Pemerhati Politik Banua -
Tinggal di Tanjung, Tabalong)
Kehidupan bernegara dan berkonstitusi kerap terjadi distori dalam praktik berpemerintahan. Keterlibatan pihak-pihak penyelenggara pemerintahan di semua level yang tidak boleh bersinggungan dengan politik praktis terjadi. Mereka kemudian terseret arus politik kekuasaan yang kemudian memberi dampak buruk terhadap amanah kenegaraan dan substansi mengakselarasi kehidupan politik untuk menciptakan kebaikan bersama.
Di penyelenggara pemerintahan paling bawah, desa misalnya. Kerap kali kepala desa salah menempatkan dirinya dalam kafasitasnya sebagai penyelenggara pemerintah desa. Sebagai sub sistem pemerintahan di atasnya, kepala desa sangat rawan dipengaruhi oleh aktor kekuasaan politik di atasnya. Rancak kepala desa ditarik atau menerjunkan diri dengan sadar untuk masuk ke dalam jebakan politik praktis.
Distorsi itu tercermin pada manuver Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (APDESI) baru-baru ini. ABDESI bermetamorfosa sebagai kendaraan dukung politik yang disodorkan atau yang datarik ke dalam pusaran politik kekuasaan. Publik masih ingat betapa para “pembakal”seluruh Indonesia telah gagal menerjemahkan hak politik dan aktivitas politik praktis ketika mereka mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi untuk presiden tiga periode beberapa waktu lalu, sekalipun dukungan itu pada akhirnya layu sebelum berkembang. Rakyat menolak itu!
Publik menilai APDESI dengan kumpulan kepala desa di dalamnya mengangkangi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Tidak hanya itu, manuver politik itu juga sekaligus menghianati mandat masyarakat desa yang sama sekali tidak pernah memberikan kewenangan kepada kepala desa untuk terlibat dalam transaksional politik praktis.
Apa yang terjadi di pusat juga terjadi di daerah. Gerakkan APDESI dan tentu saja kepala desa di dalamnya melakukan bargaining dan mentransformasikan diri sebagai kelompok kepentingan yang keluar dari khitah asosiasi itu sendiri. Fakta-fakta itu sangat sulit disangkal sekalipun juga sangat kasat mata. Pun demikian segelap-gelapnya malam, kilat di banyu jernih bagaimana hendak menutupinya.
Salah seorang kepala daerah di Banua, Bupati Tabalong Anang Syakhfiani, misalnya, mencoba menangkap situasi kasat mata itu. Sebagai bupati dua periode, dia paham apa dan bagaimana keadaan penyelenggera pemerintah desa di bawahnya. Sebagaimana dikutip oleh berbagai media, Anang Syakhfiani menyoroti pelibatan oknum kepala desa dalam aktivitas politik praktis. Fakta tersebut terjadi di daerah manapun di Kalsel dan Indonesia secara umum.
Harapannya, kepala desa bisa bekerja sesuai dengan tupoksinya dan tidak menjadi bagian dari tim sukses, baik pada pilkada atau pun pileg.
Harapan itu tentu saja tidak berangkat dari ruang hampa. Keadaan itu tentu pasti terjadi walau tidak tampak ada. Namun apa yang tidak tampak bukan berarti tidak ada. Sebagai aktor politik berpengalaman, Anang Syakhfiani mencoba menerjemahkan realitas para bawahannya yang berpotensi menuju kondisi yang terpolarisasi.
Anang Syakhfiani mencoba menampilkan posisinya yang tidak lagi berkepentingan dalam pilkada 2024 yang mulai menghangat. Pun demikian, tak dapat dipungkiri dia tetap menjadi king maker dalam peta pilkda nanti mengingat modal politiknya dari angka popularitas dan elektabilitasnya masih nyata, dan itu hendak dilabuhkan kemana.
Kepala desa bukan saja tidak boleh terlibat dalam tim sukses yang saat pilkada atau pileg dilangsungkan, namun juga tidak boleh di sepanjang pilkada dan pileg belum digelar. Melarang hanya di ketika pilkada atau pileg saja memberikan asumsi dan penafsiran lain boleh jika pilkada dan pileg belum masuk pada masa kampanye digelar. Akan ada pihak yang mengambil penafsiran itu sebagai pilihan jalan yang tidak bertentangan dengan arahan bupati, walaupun secara substansi hal itu tetap sebuah penistaan konstitusi.
Pun demikian, terlepas apapun penafsiran siapapun, setidaknya bupati mencoba tampil sebagai negarawan dan berdiri di tengah – tengah kontestasi demokrasi yang menjadi hajat rakyat Tabalong. Figur kenegarawanan Anang Syakhfiani di sepanjang masa pemerintahan tersisa yang dijalani akan diuji oleh publik. Masyarakat ingin kekuasaan yang tersisa tidak dijadikan untuk menyediakan panggung bagi pihak manapun yang berhasrat menawarkan kepemimpinan politik yang baik di masa mendatang.
Pilihan politik dan kecenderungan pelimpahan elektoral yang Anang Syakhfiani miliki adalah penantian buat aktor politik manapun yang hendak masuk dalam bursa pilkada 2024. Namun menjaga garis komando pemerintahan tersisa yang masih ada di tangannya untuk tidak bermanuver pada politik praktis menjadi warisan demokrasi yang berharga pada masa mendatang sebagai pendidikan politik yang baik.
Publik menantikan pilihan sang bupati untuk bersama mereka berada posisi tengah agar kondisi sosial politik tidak menciptakan polarisasi baik di kalangan birokrat ataupun penyelenggara pemerintahan desa secara imparsial dan kaffah.*