Pada tulisan ini tim Info Publik News menyajikan materi pembelajaran Sejarah Indonesia Kelas XI BAB III . Hal ini menandakan bahwa Anda sudah berhasil menguasai materi pada bab sebelumnya. Keberhasilan itu ditandai dengan diperolehnya nilai di atas kriteria yang ditetapkan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Anda bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan ini.
A. DAMPAK BIDANG POLITIK
Dalam
bidang politik, para penguasa penjajahan Barat terutama Belanda melakukan
kebijakan yang sangat ketat dan cenderung menindas.
Pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah atau devide et impera.
Tidak hanya politik memecah belah, tetapi juga disertai dengan tipu muslihat
yang cenderung menghalalkan segala cara sehingga melanggar norma-norma
kemanusiaan.
Misalnya pura-pura mengajak perundingan damai tetapi malah ditangkap
(penangkapan Pangeran Diponegoro), purapura diajak berunding tetapi malah
dibunuh (pembunuhan Sultan Khaerun/ Hairun).
Secara politik martabat rakyat Indonesia jatuh dan menjadi tidak berdaulat.
Rakyat Indonesia juga menjadi kelompok masyarakat kelas tiga setelah kelompok
orang-orang Barat (penjajah) dan kelompok orang-orang timur asing.
Berangkat dari politik memecah belah dan praktik-praktik tipu muslihat itu,
kekuatan kolonial Belanda terus memperluas wilayah kekuasaannya.
Penguasa kolonial juga selalu campur tangan dalam pergantian kekuasaan di
lingkungan kerajaan/pemerintahan pribumi.
Penguasa-penguasa pribumi/ lokal dan rakyatnya kemudian menjadi bawahan
penjajajah. Hal ini dapat menimbulkan sikap rendah diri di kalangan rakyat.
Beberapa penguasa pribumi mulai tidak memperhatikan rakyatnya. Perlu disadari
bahwa masa sebelum penjajahan dan sebelum terjadi intervensi politik para
penguasa kolonial, berkembang sistem kerajaan. Kerajaan ini berkembang sendiri-sendiri
di berbagai daerah.
Tetapi seperti telah disinggung di depan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Daendels, telah dilakukan pembaruan bidang politik dan administrasi
pemerintahan.
Daendels telah membagi wilayah kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia/Hindia
Belanda di Jawa dibagi menjadi sembilan prefektur dan terbagi dalam 30
regentschap (kabupaten).
Setiap prefektur diangkat seorang pejabat kepala pemerintahan yang disebut dengan prefek. Seorang pejabat prefek ini diangkat dari orang Eropa.
Kemudian
setiap regentschap/ kabupaten dikepalai oleh seorang regent atau bupati yang
berasal dari kaum pribumi.
Namun, status bupati sampai dengan camat (yang disebut priayi) sepenuhnya
menjadi pegawai negeri (binnenland bestuur) baru terwujud setelah diterapkannya
sistem Tanam Paksa pada pertengahan 1850-an).
Setiap
bupati ini merupakan pegawai pemerintah yang digaji. Dengan demikian, para
bupati ini telah kehilangan hak jabatan yang diwariskan secara turun temurun.
Setiap
prefek diberikan kekuasaan yang besar dan ditugasi untuk memperketat pengawasan
administratif dan keuangan terhadap para penguasa pribumi.
Ruang gerak para penguasa pribumi semakin sempit. Kewibawaan yang berusaha
diciptakannyapun menjadi semu.
B. Dampak Struktur Pemerintahan
Dalam struktur
pemerintahan dikenal adanya pemerintahan tertinggi, semacam pemerintahan pusat.
Sebagai penguasa tertinggi adalah gubernur jenderal.
Di tingkat pusat ini juga ada lembaga yang disebut dengan Raad van Indie,
tetapi perannya cenderung sebagai dewan penasihat.
Dalam pelaksanaan pemerintahan juga dikenal adanya departemen-departemen untuk
mengatur pemerintahan secara umum.
Beberapa departemen hasil reorganisasi tahun 1866, antara lain ada Departemen
Dalam Negeri; Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan; Departemen Pekerjaan
Umum; Departemen Keuangan; Departemen Urusan Perang; kemudian dibentuk
Departemen Kehakiman (1870);
Departemen
Pertanian (1904), yang disempurnakan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan
Perdagangan (1911)
Sementara itu, dalam pelaksanaan pemerintahan dalam negeri, sangat jelas adanya
dualisme pemerintahan yakni ada pemerintahan Eropa (Europees bestuur) dan
pemerintahan pribumi (Inlands bestuur).
Di lingkungan pemerintahan Eropa ini, terdapat
pejabat wilayah yang paling tinggi yakni residen.
Ia memimpin wilayah karesidenan. Di seluruh JawaMadura terbagi menjadi 20
karesidenan
Begitu juga di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau bagian timur juga dibagi dalam
wilayah karesidenan-karesidenan, tetapi jumlahnya relatif kecil.
Di bawah residen ada pejabat asisten residen. Asisten residen ini mengepalai suatu
wilayah bagian dari karesidenan yang dinamakan afdeling.
Di bawah asisten residen masih ada pejabat
yang disebut kontrolir (controleur). Ia memimpin
wilayah yang dinamakan controle-afdeling.
Selanjutnya yang terkait dengan pemerintahan
pribumi, para pejabatnya semua dijabat oleh priayi
pribumi.
Jenjang
tertinggi dalam pemerintahan pribumi adalah seorang regent atau bupati.
Ia memimpin sebuah wilayah kabupaten. Seorang bupati ini dibantu oleh seorang
pejabat yakni patih.
Satu
wilayah kabupaten umumnya terbagi menjadi beberapa distrik yang dipimpin oleh
seorang wedana.
Setiap
distrik kemudian terbagi menjadi onderdistrik yang dikepalai seorang asisten
wedana atau sekarang camat.
Unit paling
bawah kemudian ada desa-desa.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles di
Hindia Belanda, ia mereformasi pemerintahan pada saat itu.
Raffles yang berpandangan liberal mulai menghapus ikatan feodal dalam
masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang sudah terbiasa hidup dalam adat-istiadat
dan ikatan feodal yang kuat dipaksa untuk mengikuti sistem birokrasi baru.
Karena itu, dari para penguasa pribumi seperti raja, bupati, hingga kepala desa
harus mengikuti sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru.
Dalam hal ini pemerintah pusat dapat langsung
berhubungan dengan rakyat tanpa perantara penguasa lokal.
Sebenarnya pekerjaan ini sudah diawali oleh
Daendels, sehingga Raffles tinggal melanjutkan saja.
Pembaruan yang
dilakukan Raffles juga menyangkut struktur pemerintahan dan peradilan. Pada
masa pemerintahan Raffles, bupati sebagai penguasa lokal harus dijauhkan dari
otonomi yang menguntungkan diri sendiri.
Seorang bupati
diangkat sebagai pegawai pemerintah di bawah seorang residen. W. Daendels
memberikan istilah itu dengan prefek atau landrost.
Raffles
kemudian membagi Jawa menjadi 16 keresidenan.
Tiap keresidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh beberapa
asisten residen.
Pembaruan yang dilakukan Raffles ini bertujuan untuk melakukan
transformasi sistem pemerintahan Jawa, yaitu menggantikan sistem tradisional
Jawa yang bersifat patrimonial menuju sistem pemerintahan modern yang rasional.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pemerintahan Raffles diperbaiki
kembali.
Di samping itu untuk menyatukan seluruh wilayah Hindia Belanda yang masih
berbentuk kerajaan-kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda melakukan politik
pasifikasi kewilayahan di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Sunda Kecil, Maluku dan Papua.
Penyatuan seluruh
wilayah Hindia Belanda ini baru berhasil sekitar tahun 1905.
Bersatunya Hindia Belanda ini dikenal dengan Pax Neerlandica masa setelah itu,
wilayah Hindia Belanda telah stabil di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Wilayah inilah setelah proklamasi menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
C. Dampak Ekonomi
Pada masa pemerintahan Daendels, perubahan sistem pemerintahan telah membawa pada perubahan sistem perekonomian tradisional.
Dalam sistem modern, tanah-tanah milik Raja berubah statusnya menjadi tanah milik pemerintah kolonial.
Dalam masa pemerintahan kolonial, mencari uang
dan mengumpulkan kekayaan menjadi tujuan utama. Uang dan kekayaan mereka
kumpulkan untuk membiayai keperluan pemerintahan yang sedang berlangsung saat
itu.
Untuk mendapatkan uang pemerintah kolonial
memperolehnya dari penjual hasil bumi dari para petani berupa pajak.
Petani pun harus menjual hasil bumi dengan
harga yang telah ditetapkan.
Grote Postweg atau jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer sampai Panarukan,
dibuka pada masa Daendels memerintah Hindia Belanda.
Jalan itu dibangun hampir di seluruh Pulau Jawa sebagai sarana pertahanan untuk
menghadapi Inggris.
Jalan yang
dibangun itu menembus sebagian hutan dan gunung untuk menghindari rawa-rawa
antara Jakarta dan Cirebon.
Pembangunan jalan
itu terkait dengan masalah politik yang sedang menimpa pemerintah, seperti
masalah keuangan, ancaman Inggris, pemberontakan Banten dan Cirebon, serta
banyak musuh-musuh Daendels.
Tindakan Daendels
ini mendapat pujian dari menteri penjajahan. Karena dengan pembangunan jalan
itu maka akan mengurangi pengeluaran pemerintahan.
Pembangunan jalan sepanjang 1000 km itu dilakukan dengan kerja rodi.
Meskipun dibangun dengan kerja rodi, jalan itu berguna untuk memakmurkan
pedalaman Jawa sebagai konsekuensi yang teratur.
Menurut Daendels,
jalan itu membawa keuntungan bagi penduduk setempat dengan semakin ramainya
perdagangan.
Meskipun jalan
pos ini membawa perkembangan daerah yang dilaluinya, namun kritik pedas kepada
Daendels dilontarkan karena pembangunan jalan itu dengan sistem kerja paksa Rodi telah merenggut ribuan nyawa
manusia.
Pada masa Raffles
terjadi perubahan sistem kepemilikan tanah dari tanah raja dan penguasa lokal
ke pemerintah.
Ini berarti
pemerintah mempunyai kewenangan untuk menyewakan tanah.
Perubahan dari sistem kepemilikan tanah inilah yang menyebabkan pula terjadinya
perubahan hubungan antara raja dan kawulanya, yaitu dari patron-client menjadi
hubungan-hubungan yang bersifat komersial.
Adanya penyewaan
tanah ini berarti pemerintah mendapatkan pajak tanah, dan kas pemerintah pun
terisi.
Dengan demikian
pelaku ekonomi adalah pihak swasta. Sistem ini telah membuka
kemerdekaan ekonomi yang didukung oleh kepastian hukum usaha.
Perdagangan bebas pun mulai dilakukan.
Dalam kaitannya
dengan ini, bila perdagangan bebas dilakukan maka kemakmuran rakyat akan tumbuh
dengan sendirinya.
Sejak itulah
sistem kegiatan ekonomi uang di desa-desa Jawa dan daerah lain di Hindia
Belanda yang telah lama dikenal dengan sistem ekonomi swadaya berubah menjadi
sistem ekonomi komersial.
Setelah
pemerintah Raffles berakhir, diganti dengan pemerintahan Hindia Belanda ekonomi
uang terus berkembang, dan kegiatan perdagangan pun semakin luas.
Perkembangan ini didukung oleh perkembangan di bidang perbankan.
Sejak tahun 1828
era perbankan modern masuk ke Hindia Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank,
didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828.
Kemudian menyusul berdiri bank-bank lainnya seperti Nederlands Handels
Maatschappij, De Nationale Handels Bank dan Escompto Bank.
Selain itu juga berkembang bank-bank lain yang berasal dari Inggris, Australia
dan Cina. Bahkan juga ada juga bank milik pribumi yaitu Bank Desa, Lumbung
Desa.
Dampak lain dari pemerintahan kolonial adalah munculnya kota-kota baru yang
ditandai dengan adanya jaringan transportasi berupa jalur-jalur kereta api dari
Jakarta ke Bogor, dan kereta api di Pulau Jawa dan lain sebagainya.
Pada tahun 1840, muncul penyelidikan tentang pembangun jalur kereta api yang
menghubungan dari Surabaya lewat Solo ke Yogyakarta hingga ke Priyangan.
Pada September 1895, Jaringan kereta api Semarang-Cirebon terbangun. Jaringan
kereta api juga dibangun di Sumatera.
Perusahaan Zuid Sumatera Staatsramwegen membangun jaringan di Lampung sepanjang
62 km dan Palembang sepanjang 152 km yang telah beroperasi 1917.
Di Sumatera Barat, sejak 1833 telah dibangun kereta api, begitu juga di Aceh.
Di samping itu, jalur transpotasi darat membawa banyak perkembangan dalam
bidang perekonomian.
Munculnya
pelabuhan-pelabuhan membawa pengaruh pada perkembangan perdagangan.
Terbentuknya jaringan kereta api yang terhubung ke pelabuhan–pelabuhan sehingga
pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda mulai tersambung pula, karena didukung
munculnya angkutan kapal laut.
Perkembangan
ekonomi juga didukung oleh munculnya kemajuan komunikasi dan transpotasi. Pada
1746, kantor pos pertama didirikan di Batavia.
Hal ini mengalami
kemajuan lagi setelah Daendels membangun jalan pos yang menghubungkan di
wilayah Pulau Jawa.
Terhubungnya
jaringan kereta api dan jalan pos telah mempercepat pengiriman surat lewat pos,
sehingga informasi semakin berkembang cepat.
Di Sumatera pelayanan pos dilakukan dengan mobil, misalnya di Palembang,
Pantai Timur Sumatera dan Aceh. Pelayanan telegrap dimulai sejak 1855, sehingga
informasi semakin cepat sampai.
Sistem ekonomi
kapitalis mulai bangkit dengan ditandai oleh masyarakat Indonesia yang mulai
mengenal beberapa jenis tanaman perkebunan yang menjadi bahan ekspor di pasar
dunia.
Hal yang menarik
dan penting untuk diketahui dalam konteks politik dan ekonomi itu adalah usaha
perluasan daerah kekuasaan Belanda. Dengan cara kekerasan dan perang, melalui
kontrak dan atau perjanjian dengan penguasa-penguasa /raja lokal, bahkan kadang
dengan tipu muslihat, akhirnya Kepulauan Indonesia ini berada di bawah
kekuasaan Belanda.
Pada masa kekuasaan
Belanda inilah secara nyata mulai dikenal batas wilayah termasuk batas-batas
wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia, dari
ujung barat (Aceh) sampai ujung timur (Papua). Batas tanah Hindia Belanda
bagian timur di Papua ini telah disepakati dengan perjanjian antara Belanda dan
Inggris pada tahun 1895.
D. Dampak Sosial Budaya
Penjajahan bangsa
Barat di Indonesia secara tegas telah menerapkan kehidupan yang diskriminatif.
Orang-orang Barat memandang bahwa mereka yang berkulit putih sebagai kelompok
yang kelas I, kaum Timur Asing sebagai kelas II, dan kaum pribumi dipandang
sebagai masyarakat kelas III, kelas yang paling rendah.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa budayanya juga dipandang paling rendah.
Pandangan ini sengaja untuk menjatuhkan martabat bangsa Indonesia yang memang
sedang terjajah. Memang bangsa Barat ini ingin memberantas budaya feodal.
Terbukti Belanda berhasil menggeser hak-hak istimewa para penguasa pribumi.
Para penguasa pribumi, telah kehilangan statusnya sebagai bangsawan yang sangat
dihormati oleh rakyatnya.
Mereka telah
ditempatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, sehingga tidak memiliki
hak-hak istimewa kebangsawanannya.
Status dan
hak-hak istimewanya justru diambil oleh Belanda. Masyarakat Indonesia harus
menghormati secara berlebihan kepada penguasa kolonial.
Harus diakui dengan adanya dominasi orang-orang Barat di Indonesia telah
menanamkan nilai-nilai budaya yang umumnya kurang sesuai dengan nilainilai
budaya bangsa Indonesia.
Bahkan
perkembangan budaya Barat yang cenderung dipaksakan juga telah menggeser
nilai-nilai budaya keIndonesiaan.
Semangat
persatuan, hidup dalam suasana kekerabatan, nilai-nilai gotong royong,
nilai-nilai kesantunan, unggah-ungguh atau budi pekerti luhur yang dikembangkan
di lingkungan kraton yang juga ditiru oleh masyarakat mulai bergeser.
Bahkan yang menyedihkan dengan alasan modernisasi, para penguasa Barat tidak
mau tahu tentang tradisi atau atau norma-norma, termasuk nilai halal dan haram
dalam Islam, misalnya dengan budaya minumminuman keras (menjadi mabuk-mabukan),
berangkat dari dance kemudian mengarah kepada pergaulan laki-laki dan perempuan
yang cenderung tanpa batas.
Oleh karena itu,
di lingkungan masyarakat beragama Islam, kaum kolonial yang menjajah Indonesia
dikatakan sebagai orang-orang kafir.
Kedatangan dan dominasi bangsa-bangsa Barat
juga telah membawa pengaruh semakin intensifnya perkembangan agama Kristen.
Hal ini tentu sejenak menimbulkan culture
shock di kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Namun dalam perkembangannya
mampu beradaptasi sehingga menambah khasanah keragaman di Indonesia.
Kemudian pada zaman pemerintahan Raffles, perkembangan ilmu pengetahuan,
sejarah dan budaya, khususnya di Jawa, mendapatkan perhatian khusus.
Melalui bukunya yang berjudul History of Java, buku tersebut memuat berbagai
aspek sosial dan budaya di Pulau Jawa.
Ada juga buku
karya William Marsden yang berjudul History of Sumatera. Pemerhati budaya
Nusantara ternyata cukup banyak selain Raffles dan William Marsden terdapat
pula menteri pemerintahan Batavia, yakni Crawfurd.
Ia menulis buku History of the East Indian Arcipelago dalam tiga jilid. Buku
itu sangat penuh rasa kemanusiaan serta mambakar ketidakadilan yang diderita
oleh penduduk.
Pada akhir abad XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda
melancarkan kritik terhadap keadaan Hindia Belanda yang semakin merosot.
Ia menyatakan selama satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan dari
penghasilan rakyat, tetapi tidak ada satu persen pun yang dikembalikan untuk
kesejahteraan rakyat Hindia Belanda.
Di samping itu, Van Deventer pada tahun 1899, menulis dalam judul “Hutang
Kehormatan”.
Dalam tulisan tersebut ia menganjurkan adanya politik balas budi (politik etis)
yang berisi pendidikan, irigasi, dan imigrasi/transmigrasi.
E. Dampak Pendidikan
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru.
Dimulailah era Politik Etis yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F.
Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916).
Ada tiga program Politik
Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi.
Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan
politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol
baru yaitu “kemajuan”.
Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupan pun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai
diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura.
Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai
beroperasi pada awal masa itu.
Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan
perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun
irigasi.
Di samping itu, pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di
perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Hal yang sangat penting
untuk mendukung simbol kemajuan itu maka dalam era Politik Etis ini
dikembangkan program pendidikan.
Pendidikan ini ternyata tidak hanya untuk orang-orang Belanda
tetapi juga diperuntukkan kepada kaum pribumi, tetapi dengan
persyaratan-persyaratan tertentu.
Suasana dan simbol kemajuan melalui program pendidikan ini juga didukung oleh
adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di
Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu.
Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya
Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu.
Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang
diperlukan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Dalam bidang pendidikan meskipun dampaknya sangat kecil
kepada penduduk pribumi, tetapi membawa dampak pada tumbuhnya sekolah-sekolah.
Pada tahun 1900, tercatat sebanyak 169 Eurepese Lagree School (ELS) di seluruh
Hindia Belanda.
Dari sekolah ini murid-murid dapat melanjutkan pelajaran ke
STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree
Burgelijk School (HBS).
Di samping itu juga dikenal sekolah OSVIA (sekolah calon pegawai) yang
berjumlah enam buah
Untuk memperluas program pendidikan maka keberadaan sekolah
guru sangat diperlukan. Dikembangkan sekolah guru. Sebenarnya Sekolah Guru atau
Kweekkschool sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo.
Berkembanglah pendidikan di Indonesia sejak jenjang pendidikan dasar seperti
Hollands Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Untuk kelanjutan pendidikannya kemudian dibuka sekolah menengah yang disebut
Algemene Middelbare School (AMS), juga ada sekolah Hogere Burger School (HBS).
Kemudian khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah Kelas Satu” yang
murid-muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang nanti akan menjadi
pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan “Sekolah Kelas Dua” yang
di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro”.
Bagi
para pemuda aktifis banyak yang bersekolah di School tot Opleiding van Indische
Artsen (STOVIA) yang berpusat di Batavia.
Sekolah ini sering disebut dengan “Sekolah Dokter Jawa” Dari
sekolah ini lahir beberapa tokoh pergerakan kebangsaan.
Memang harus diakui, meskipun penduduk pribumi yang dapat
bersekolah sangat sedikit, namun keberadaan sekolah itu telah menumbuhkan
kesadaran di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan.
Hal ini mempercepat proses modernisasi dan munculnya kaum
terpelajar yang akan membawa pada kesadaran nasionalisme.
Munculnya kaum terpelajar itu mendorong
munculnya surat kabar, seperti, Pewarta Priyayi yang dikelola oleh R.M Tjokroadikoesoemo.
Juga koran-koran lain, seperti Surat kabar De Preanger Bode
(1885) di Bandung, Deli Courant (1884) di Sumatera Timur, Makassarsche Courant
(1902) di Sulawesi, Bromartani (1855) di Surakarta, Bintang Hindia (1902) yang
dikelola oleh Abdul Rivai, membawa pencerahan di kalangan pribumi.
Dari berbagai informasi yang ada di surat kabar inilah lambat
laun kesadaran akan pentingnya persamaan, kemerdekaan terus menyebar ke
kalangan terpelajar di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Berkat informasi yang
berkembang inilah kaum terpelajar terus melakukan dialog dan berdebat tentang
masa depan tanah kelahirannya sehingga kesadaran pentingnya kemerdekaan terus
berkembang dari waktu ke waktu yang puncaknya adalah adanya kesadaran untuk
menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa adalah Indonesia pada 28
Oktober 1928.
Post a Comment